Ketika Senyum Manis Berubah Menjadi
Senyum Cantik
Oleh : Deri Rudiana – SMPN 1 Jatisari karawang
Hati dan pikiran para siswa laksana api
yang setiap hari harus dinyalakan agar semangat dan motivasi belajar mereka tak
pernah pudar ataupun padam di ruang kelas. Sebagai seorang guru, saya harus
punya cara, agar di setiap kelas yang saya kunjungi, api itu dapat kunyalakan
sehingga cahaya hari itu bisa menjadi cahaya penerang untuk hari esok mereka.
Setiap pagi, saya
berjumpa dengan murid-muridku di sekolah, mereka menyapaku dengan senyum ramah
dan selalu menyalamiku. Senyum dan keramahan mereka ibarat segelas teh manis
ternikmat yang selalu kucicipi setiap pagi. Saya senang melihat keramahan
mereka dan sudah pasti sayapun sangat menyayangi mereka. Tetapi ada perasaan
berdosa dalam diri saya terhadap mereka, betapa tidak? selama ini prestasi
mereka tidak begitu baik, tidak menggembirakan dan tidak membanggakan bagi saya
dan pasti juga mereka. Secara rata-rata, nilai mereka setiap ulangan harian
selalu banyak yang kurang dari Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Saya malu
pada diri sendiri,”Ya Tuhan, apa yang harus kuperbuat? ” keluhku dalam hati.
Padahal menurutku, saya telah berusaha mengajar semaksimal mungkin sesuai
dengan tugas dan kewajiban sebagai seorang guru. Saya datang dan mengajar
setiap hari, untuk mengasah kemampuan mereka saya memberinya tugas, memberi pekerjaan
rumah (PR), memberi latihan soal, memberikan remidial untuk yang nilainya
kurang dari KKM dan itu sudah saya lakukan semuanya. Di kelas, saya bagaikan pengkhotbah ulung, saya mengajar mereka
dengan ceramah yang materinya sudah saya hapal betul, karena dari tahun ke
tahun hanya itu dan itu yang saya sajikan, seperti siaran ulang di TV, yang
berbeda hanya pemirsanya saja. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), saya
telah menyiapkannya di awal tahun pelajaran. Tapi mengapa nilai ulangan harian
dan prestasi anak-anakku hampir selalu tidak ada perubahan kearah yang lebih
baik? padahal setiap saya selesai menyampaikan materi pembelajaran di kelas,
saya selalu bertanya pada mereka, “Apa kalian susah mengerti?” merekapun menjawabnya,
“Iya,“ lalu saya bertanya lagi, “Ada yang mau bertanya?” merekapun diam, tak
ada yang bertanya, bukankah itu bukti bahwa mereka sudah paham dengan apa yang
saya ajarkan? lagi-lagi saya merasa aneh, ketika ulangan harian, mendapati
nilai mereka banyak yang kurang dari KKM. “Hmm..., sepertinya mereka jarang
belajar di rumahnya, makanya nilainya selalu kecil,” itu kesimpulanku. Pernah
kepada beberapa sesama rekan guru saya bertanya tentang kondisi siswa di
sekolah kami, ternyata hampir semua guru sama mengeluhkan kondisi riil yang
relatif sama. “Ya sudahlah, kalau begini bukan salah kita, karena tugas kita
mengajar di sekolah sudah kita lakukan, soal belajar di rumah, itu ‘kan
tanggung jawab orang tua dan mereka masing-masing,” kata salah seorang rekan
guruku. Saya hanya diam tak berkomentar, tetapi tetap saja ada yang mengganjal
di hati saya, dan ini sudah lama saya rasakan.
Telepon
dari teman
Suatu hari saya
menerima telepon dari teman yang mengajar di SMPN 2 Jatisari, Teh Cucu Hadiati,
namanya. Saya biasa menyapanya “Teteh”
(kakak perempuan) karena dia kakak kelasku ketika kuliah di Universitas
Padjadjaran Bandung (UNPAD) sekitar tahun 1990-an. Teh Cucu, meminta agar saya datang
esok harinya untuk mengikuti kegiatan pelatihan Penelitian Tindakan Kelas (PTK)
dari Sampoerna Foundation, tempatnya
di SMPN 1 Klari Karawang. “Oke, siap Teh Cucu?“ jawabku.
Jadwal pelatihan jam
08.30 WIB, tapi sekitar jam 07.40-an, saya dan Pak Tatang Rukmana, teman
se-SMP-ku sudah datang di SMPN 1 Klari, sekolah berlantai dua berstatus Sekolah
Berstandar Nasional (SSN), Rekan guru peserta pelatihan PTK dari SMP lain ternyata
sudah pada hadir juga. Kami berkumpul dan duduk-duduk di teras Mesjid sekolah
ini yang letaknya masih di lingkungan sekolah, di sebelah kanan pintu gerbang
masuk, dekat Pos Satpam. Ketika asyik berbincang-bincang, sebuah mobil kijang
kapsul warna hitam memasuki halaman SMPN 1 Klari dan langsung menuju tempat
parkir, dua orang ibu-ibu muda turun dari mobil tersebut, mereka langsung menuju
tangga naik ke lantai dua, SMPN 1 Klari. “Kayaknya…, mereka fasilitatornya,“ tebakku
dalam hati. “Saha itu ibu-ibu teh, wawuh
teu?” (Siapa itu ibu-ibu, kenal enggak?) Pak Tatang, bertanya pada saya. “Teu kenal, saha, nya?“ (enggak kenal,
siapa, ya?) jawabku balik bertanya. “Ti
Sampurna panginten, Pa?” (Dari Sampoerna kayaknya, Pak?), kata seorang rekan
guru yang lain. “Hayu atuh ah, urang ka
luhur, Pa” (Ayo ah, kita ke atas, Pak) kata Pa Tatang, mengajak kami naik
ke lantai dua menuju tempat pelatihan, karena menurut informasi kemarin dari
Teh Cucu Hadiati, pelatihan akan dilaksanakan di lantai dua sekolah ini. Tanpa
berkomentar lagi kami menuju tangga naik menuju ke lantai dua.
Benar saja, si ibu-ibu
muda tadi memang fasilitator yang akan memberikan materi pelatihan PTK dari Sampoerna Foundation, beliau adalah Bu
Susilowati dan Bu Caesillia. Karena pelatihan ini untuk guru Matematika dan
IPA, Fasilitator membagi peserta pelatihan menjadi dua kelompok yaitu kelompok guru
Matematika dan kelompok guru IPA, dan saya berada di kelompok IPA. Semua
peserta jumlahnya 60 orang, 30 orang dari Matematika dan 30 orang lagi dari
IPA. Fasilitator kelompok IPA adalah ibu Susilowati sementara ibu Caesillia
yang memiliki postur tubuh terbilang tinggi adalah fasilitator di kelompok
Matematika.
Pelatihanpun dimulai,
“Bapak-bapak, ibu-ibu selama tiga hari, kita akan melaksanakan pelatihan PTK,”
kata Bu Susi. “Ada yang tahu enggak PTK itu apa?”, Bu Susi bertanya pada kami.
“Kalau mendengar, sih.., sering, Bu. Tapi kalau membuatnya, yaaa.. gitu
dech…hehehe..” salah seorang rekan guru
menjawab dengan nada setengah bercanda, kamipun jadi tersenyum tak terkecuali,
Bu Susi. Sesi per sesi kami mengikuti pelatihan, saya merasa ada yang lain dari
cara Bu Susi dalam menyampaikan materinya, beliau menyampakan materinya dengan
baik dan segar, ketika peserta mulai keliahatan mengantuk beliau pasti
memberikan Ice breaking. Menjelang coffee
break, Bu susi berkata, “Bapak-bapa, ibu-ibu, coba tuliskan sebuah kata
yang berhubungan dengan PTK di kertas selembar, lalu kertasnya di remas menjadi
sebuah bola,” kamipun menuliskannya. “Sekarang, silahkan bapak, ibu banting
sekuat-kuatnya bola kertas itu ke lantai agar rasa jenuhnya hilang,” kata Bu
Susi lagi, kamipun menurutinya.Tapi setelah kami membantingnya, Bu Susi berkata
lagi, “Bapak… Ibu… silahkan istirahat dulu tapi jangan lupa bola kertas yang
tadi di banting diambil lagi dan di buang ketempat sampah, yaaa..hehehe,”
kamipun spontan bersuara, “Huuuuuu…,“ sementara Bu Susi malah keluar sambil
tersenyum. “Jiaaahhh…, ternyata Bu Susi hanya
ngerjain kita, nih… hehehe..,“ kataku.
Materi demi materi
telah disampaikan oleh Bu Susi dan sampailah pada hari terakhir pelatihan.
“Bapak-bapak dan Ibu-ibu, hari ini adalah hari terkhir kita melaksanakan
pelatihan PTK dan kami akan memberi tugas kepada bapak-bapak dan ibu-ibu untuk
membuat proposal PTK selama tiga minggu. Kalau sudah jadi proposalnya, nanti di
kirim ke e-mail saya, proposal yang masuk nantinya akan diseleksi dan dipilih
10 proposal PTK terbaik, Propsal PTK terbaik ini nantinya akan diberi insentif
berupa dana untuk melaksanakan PTK di sekolah masing-masing.” Kata-kata Bu Susi
ini mengejutkan kami semua, karena kami mengira pelatihan ini tidak ada tindak lanjutnya.
Suatu sore, sekitar
pukul 15.00 WIB, saya duduk di kursi sambil nonton TV dengan anak saya,
tiba-tiba HP-ku berdering, ada sms masuk, Saya bangkit menuju tempat HP-ku
berdering yang saya taruh di atas rak sebelah kanan TV, kubuka lalu kubaca, ternyata
isinya dari Bu Cucu Ratnaningsih, guru Matematika dari SMPN 1 Kota Baru, beliau
adalah peserta pelatihan PTK dari kelompok Matematika. Beliau memberitahukan
bahwa Bu Susi telah menelponnya dan mengabarkan bahwa Saya, Pak Tatang Rukmana
dan Bu Cucu Ratnaningsih telah terpilih lolos seleksi 10 proposal PTK terbaik
dan akan dipanggil untuk mengikuti pembekalan lebih lanjut untuk persiapan
melaksanakan PTK.
Pendampingan dan
pembekalan untuk pelaksanaan PTK diikuti peserta yang jumlahnya 10 orang, yang
telah lolos seleksi pemilihan proposal yang telah dikirimkan melalui e-mail Bu
Susi untuk kelompok IPA dan melalui e-mail Bu Caesillia untuk kelompok
Matematika, Selama pendampingan, saya termotivasi melaksanakan PTK karena Bu
Sisil, panggilan akrab Bu Caesillia dan Bu Susi memberikan bimbingan langsung
orang per orang kepada 10 orang ini. Kami dibimbing untuk memperbaiki dan
menyiapkan mana yang masih dianggap kurang atau belum tepat baik instrumen
penelitian, alat pengumpulan data, teknik pengolahan data dan sebagainya dalam
persiapan melaksanakan PTK, Saya sangat
senang menerima bimbingan yang sangat berharga dan bermakna itu. Pembimbingan ini memberi pengalaman dan wawasan baru bagi saya dan telah memberi
semangat untuk melaksanakan PTK di sekolahku.
Aula
Alam Sari Yang Membuatku Dag Dig Dug
Hasil penilaian pihak Sampoerna Foundation telah memutuskan bahwa Saya, Ibu Dwi Pangesti dan Ibu
Widati terpilih ke dalam kelompok tiga besar penulis laporan PTK terbaik, kami
bertiga diminta untuk mempersiapkan diri membuat power point karena ketiga PTK terbaik ini akan diseminarkan dan
kami bertiga akan menjadi pembicara pada acara seminar PTK tersebut, sementara
rekan kami yang tujuh orang lagi diminta membuat poster PTK masing-masing untuk
dipajang pada acara seminar nanti.
Jumat, 5 Maret 2010,
Aula Restaurant Alam Sari Karawang
Barat tampak ramai dipenuhi orang-orang yang mayoritas mengenakan batik, Ya, hari
itu akan digelar acara seminar PTK. Seminar
ini dihadiri dan dibuka oleh Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Karawang, hadir
pula para Pengawas SMP, Kepala Sekolah se-Kabupaten Karawang, dan dari unsur
guru. Melihat yang hadir begitu banyak, ada perasaan was was di hati, takut demam panggung ketika tampil. Jantungku mendadak
dag dig dug tak menentu, “Ya Allah
berilah saya kemudahan, kelancaran, dan ketenangan ketika tampil di depan
khalayak seperti ini,” saya berdo’a dalam hati dan mencoba menenangkan diri.
Tibalah giliranku untuk mempresentasikan hasil laporan PTK, diiringi dengan riuhnya tepuk tangan para hadirin, dengan perasaan yang masih was was dan jantungku yang dag dig dug, saya berjalan ke depan menuju laptopku di meja presentasi yang telah menunggu untuk dioperasikan. Sebelum memulai, saya memperkenalkan diri, menyebutkan nama dan tempat unit kerja. “Bismillahirrohmanirrohim…,“ ucapku dalam hati, dan klik! kutekan dua kali file PTK-ku, tampaklah di layar judul PTK-ku, selanjutnya slide demi slide kutayangkan dan kupaparkan maksud dan tujuannya. Aneh…, entah pengaruh apa, Jantungku yang dag dig dug kencang sedikit demi sedikit detaknya mulai normal, sayapun mulai menikmati presentasiku, ketenangan dan kepercayaan diri semakin bertambah, mungkin berkat do’a yang kupanjatkan tadi. Akhirnya, kututup sesi presentasiku, “Alhamdulillah…,Ya Allah, aku telah diberi kelancaran,” ucapku dalam hati sambil menarik napas panjang. Plong! rasanya.
Tibalah giliranku untuk mempresentasikan hasil laporan PTK, diiringi dengan riuhnya tepuk tangan para hadirin, dengan perasaan yang masih was was dan jantungku yang dag dig dug, saya berjalan ke depan menuju laptopku di meja presentasi yang telah menunggu untuk dioperasikan. Sebelum memulai, saya memperkenalkan diri, menyebutkan nama dan tempat unit kerja. “Bismillahirrohmanirrohim…,“ ucapku dalam hati, dan klik! kutekan dua kali file PTK-ku, tampaklah di layar judul PTK-ku, selanjutnya slide demi slide kutayangkan dan kupaparkan maksud dan tujuannya. Aneh…, entah pengaruh apa, Jantungku yang dag dig dug kencang sedikit demi sedikit detaknya mulai normal, sayapun mulai menikmati presentasiku, ketenangan dan kepercayaan diri semakin bertambah, mungkin berkat do’a yang kupanjatkan tadi. Akhirnya, kututup sesi presentasiku, “Alhamdulillah…,Ya Allah, aku telah diberi kelancaran,” ucapku dalam hati sambil menarik napas panjang. Plong! rasanya.
Moderator memberikan
kesempatan kepada para peserta untuk bertanya. Seorang pengawas SMP
mengacungkan tangannya dan setelah dipersilahkan oleh moderator beliau bertanya
pada saya, “Pak, penelitian ini pakai observer, nggak?” saya menjawabnya,
“Pakai, Pak. Kebetulan observernya teman sejawat saya dan sekarang beliau hadir
disini,” kataku sambil menunjuk ke arah Pak Tatang Rukmana yang duduk di
deretan kursi kedua dari depan. “Ooh.. kalau begitu, saya ‘ga jadi untuk
bertanya, Bu” lanjut beliau kepada moderator, entah apa maksudnya beliau bertanya
seperti itu, saya agak bingung. Selesai sesi tanya jawab, aku bersyukur,
“Alhamdulillahirobbilalamiiin…” Kubereskan laptop kesyanganku dan kumasukan
kedalam tasnya, “Pak, bagus presentasinya, data-data yang ditampilkannya
tajam”, dari sebelah kananku, kudengar ada orang yang berbicara padaku, aku
menoleh dan tersenyum padanya, “Terimakasih, Pak..,” jawabku pendek. Dari
belakang tiba-tiba ada seorang bapak membawa flashdisk, “Pak, boleh ngopi ‘ga PTK-nya?” katanya. Saya berbalik
kearah si empunya suara, “Wah, bapak mohon maaf, PTK ini didanai oleh Sampoerna, jadi saya
harus minta ijin dulu pada pihak Sampoerna-nya,” aku menolaknya secara halus
dan memberinya alasan.”Ooh.., ya udah deh, ‘ga apa-apa kalau begitu, Pak”
katanya, sambil tersenyum.
Kharisma
Benda Bersudut Lima
Pengalamanku
melaksanakan PTK memberiku inspirasi untuk melakukan refleksi terhadap apa yang terjadi dengan prestasi anak-anaku
di kelas, saya berusaha mencari tahu, kenapa aku jarang melihat senyum kepuasan
di wajah mereka setelah belajar? kenapa nilai ulangan mereka selalu banyak yang
kurang dari KKM? saya terus berpikir. Implementasi model pembelajaran koopretif
tipe Student Teams Achievement Division
(STAD) dalam PTK-ku, hasilnya menunjukkan perubahan yang baik. Prestasi
anak-anakku menjadi semakin bagus ketika
diberikan kuis, menurutku hasil yang
dicapai anak-anakku yang sudah baik itu tidak terlepas dari reward
dan pengelompokkan siswa ketika belajar, mereka diberi reward dengan pujian, tepuk tangan,
acungan jempol atau yang lainnya ketika berhasil menjawab pertanyaan dan mereka
sangat senang menerimanya, ternyata dengan dikelompokan, siswa lebih kondusif
belajarnya. Kelompoknya dibuat secara heterogen dari tingkat prestasi dan jenis
kelaminnya, sehingga kemampuan tiap kelompok dan jumlah siswa laki-laki dengan
perempuan tiap kelompok relatif sama serta memiliki kemampuan yang berimbang.
Dengan diberi reward dan
dikelompokan, ada hal yang menarik dan sangat membantu, mereka yang tadinya
malu untuk bertanya pada saya, menjadi terbantu oleh temannya sendiri, berarti
ada peran tutor sebaya di tiap kelompok. Saya akan mencoba menerapkan hasil
refleksi ini di kelas ketika saya mengajar, saya akan membuat reward dalam bentuk yang lain.
Saya membuat
bintang-bintang yang ukurannya kecil dari kertas asturo warna kuning dan
mengguntinginya, bintang-bintang ini akan saya berikan sebagai reward kepada siswa yang bisa menjawab dengan
benar setiap pertanyaan yang saya ajukan setelah saya menjelaskan materi
pelajaran. Jumlah bintang yang mereka raih akan saya catat dan menjadi nilai
tambah bagi nilai mereka sendiri.
Di kelas IX-F, sebelum mulai
mengajar saya memperlihatkan bintang-bintang yang saya bawa hari itu dan menjelaskan
untuk apa bintang-bintang itu saya bawa ke kelas mereka, mereka menatap
bintang-bintang yang terbuat dari kertas asturo itu dengan tatapan yang berbeda
dari biasanya. Saya menangkap suatu keinginan dari tatapan mereka, keinginan
meraih bintang-bintang yang saya bawa. “Semoga dengan bintang-bintang ini saya
berhasil menyalakan api semangat dan motivasi belajar mereka sekaligus
mendorong nilai ulangan mereka menjadi lebih baik,” aku berharap dalam hati.
Dua puluh menit lagi
sebelum selesai mengajar, saya menyuruh anak-anak kelas IX-F, “Nah, sekarang
tutup semua buku kalian, karena bapak akan mengajukan beberapa pertanyaan dari
materi yang tadi sudah dijelaskan, siapa yang bisa menjawabnya dengan benar
akan diberi bintang ini dan menjadi nilai tambah untuk nilai kalian nanti,”
kataku sambil mengacungkan sebuah bintang yang terbuat dari kertas asturo itu.
“Asyiiikk…,” teriak Devi, sambil tersenyum dia menutup buku paket dan buku
catatannya, anak-anak yang lainpun sama. “kalau begitu, siap yaaa..?” lanjutku.
Kelas sesaat hening, lalu saya mulai mengajukan beberapa pertanyaan kepada
mereka.
“Apa yang dimaksud dengan ekskresi ?” sekilas
kulihat Devi yang duduknya di depan barisan paling kanan, paling cepat
mengacungkan tangannya,
“Apa, Devi?’ saya bertanya pada Devi dan
dia menjawabnya dengan benar, lalu dia kuberi bintang satu buah, dia tersenyum
gembira.
“Soal kedua ….” lanjutku.
“Apa saja yang termasuk alat-alat
ekskresi pada manusia ?” Rahmat, yang duduk di deretan bangku ketiga, baris
kedua dari kiri, paling cepat mengacungkan tangannya, diapun menjawabnya dengan
benar, kuberi juga dia satu bintang.
“Jika seseorang, urine-nya banyak
mengandung zat gula, maka orang tersebut diprediksi mengidap penyakit apa?”
Anak-anak banyak yang mengacungkan tangannya, “Pak…, saya, Pak! saya, Pak...,
saya pak!“ mereka ramai tak sabar ingin mendapat giliran. Tapi saya menunjuk
Ilfa, dia yang mengacungkan tangan paling cepat, diapun menjawabnya dengan
benar, Ilfa meraih satu bintang.
“Apa yang dimaksud proses reabsorpsi
dalam ginjal?” anak-anak mengacungkan tangannya, saya melihat Ratna
mengacungkan tangannya paling cepat.
“Apa jawabannya, Rat?” Ratna menjawabnya
tapi jawabannya salah, spontan anak-anak pada ribut minta diberi giliran
menjawab, “Saya, Pak! saya, Pak! saya, Pak!” saya bingung juga, karena saya
tidak tahu siapa tadi yang paling cepat mengacungkan tangannya setelah Ratna.
Akhirnya, saya menyuruh mereka untuk menurunkan tanganya. “Sekarang begini,
bapak akan hitung sampai tiga, siapa yang mengacungkan tangannya paling cepat,
dia berhak untuk menjawab, setuju?” tanyaku, “ Setujuuu…..” jawab mereka. “ oke,
siap ya,…satu… dua…. tiga!” mereka berebutan mengacungkan tangannya, tapi Ilham
yang duduknya tepat dihadapanku paling cepat, diapun menjawabnya dan benar. Tak
terasa belpun berbunyi, dan jam pelajaranku telah usai, “Huuuuu…..,“ suara kekecewaan
anak-anak terdengar serempak, padahal tidak yang memberi komando. Saya
tersenyum dan berkata pada mereka, “coba yang punya bintang maju ke depan.
bapak akan catat, siapa saja yang mendapat bintang hari ini?” anak-anakpun maju
ke depan dan mengembalikan bintang yang telah mereka raih tadi, Setelah
mencatatnya, saya berkata pada mereka, “Ya udah.., karena sudah bel, sekian
dulu kita belajar hari ini, O, ya Ratna dan kalian yang hari ini belum mendapat
bintang, tidak usah kecewa masih ada pertemuan-pertemuan berikutnya, pasti
kalian juga bisa meraih bintang,” kataku. Saya melirik ke arah Devi, lalu
berkata,”Devi, kamu telah meraih bintang paling banyak hari ini, selamat ya,
vi…” saya memberi aplaus untuk Devi,
diikuti tepuk tangan dari anak-anak, Devi hanya senyum-senyum saja, tampak
wajahnya senang karena telah meraih bintang paling banyak hari itu.
Dari hari ke hari, dari
kelas ke kelas, sedikit demi sedikit iklim belajar mulai mengalami perubahan.
Bukan hanya nilai ulangan mereka menjadi semakin baik, tetapi Proses Belajar Mengajar
(PBM) mulai lebih baik, anak-anak ada yang mulai berani bertanya saat PBM, padahal
selama ini jarang sekali ada siswa yang berani bertanya. Rahmat, anak IX-F
ketika belajar “Bioteknologi” bertanya, “Pak, kenapa untuk membuat keju, kita
memanfaatkan bakteri, ‘kan bakteri itu suka membuat kita sakit?” atau Dina,
kelas VIII-B ketika praktikum “Getaran” bertanya, “Apakah gerak jarum jam yang
berputar termasuk getaran?” lain lagi dengan Nawa, siswi kelas IX-C, yang mau
menampilkan peta konsep “Sistem Saraf” yang dibuatnya di whiteboard tanpa takut salah dan meminta pendapatku tentang peta
konsepnya. Suatu hari, di kelas IX-A saya membahas tentang “Pewarisan Sifat”. Yeni
bertanya,”Ayahku dan Ibuku rambutnya lurus, kok saya ikal, Pak. Kenapa, ya?”
Andri yang duduk di pojok kanan nyeletuk,”Yeni,Maneh
mah anak tatangga, meureunani..,” (Yeni, kamu itu anak tetangga, kali..) tawa
anak-anakpun pecah, sayapun ikut tertawa, “hahaha….” Yeni memelototi Andri,
mukanya kelihatan kesal. “Sudah…, sudah.., begini Yeni…” saya berusaha
menghentikan tawa anak-anak dan menjawab pertanyaan Yeni.
Di hari yang lain, usai
mengajar di kelas IX-E, saya ke luar kelas dan berjalan menuju kelas yang lain,
dari belakang ada yang memangil, “ Bapak… bapak…” Saya menolehnya, kulihat
Maria anak IX-E dengan seorang temannya berjalan ke arahku, setelah ada di
depanku dia berkata, “Maria, kecewa ah.. sama bapak… “, katanya. “Kecewa,
kenapa ?” tanyaku, heran. “Uhh...udah cape-cape belajar di rumah, eeh… Maria
‘ga ditanya, sama Bapak?” jawabmya. Saya tersenyum, “He..he..he…
Maria…Mariaaa,,, ‘kan yang ditanya itu yang paling cepat mengacungkan
tangannya. Ya, kan ?” kataku sambil tetap tersenyum. “Akh…pokonya kalau Maria,
‘ga ditanya nanti, Maria kecewa ah… sama bapak” jawabnya sambil cemberut,
sementara temannya hanya senyum-senyum. “Iya deh, iya. Nanti bapak kasih
pertanyaan khusus buat Maria, tapi rajin belajar, ya?”, kataku. “Janji ya,Pak?”
katanya lagi, bersemangat. ”Oceeh..oceeeh. Siiip..lah,” kataku setengah
menggoda.
Ucapan Maria tadi, jadi
kepikiran terus, “Jangan-jangan…, banyak
anak yang kecewa seperti Maria, cuma mereka tidak berani mengatakannya,”
gumamku dalan hati. Di pertemuan berikutnya saya mengubah cara bertanya agar
lebih bervariasi, tidak hanya yang paling cepat mengacungkan tangan yang
mendapat giliran menjawab, tetapi pertanyaan terkadang diajukan khusus untuk siswa
perempuan, siswa laki-laki, siswa yang duduknya di barisan bangku paling kanan,
paling kiri, deretan depan, deretan belakang, atau diajukan khusus untuk yang
sama sekali belum pernah mendapat bintang, sehingga tiap hari makin banyak
siswa yang dapat meraih bintang dan mereka tampak senang.
Saya senang iklim belajar
sedikit demi sedikit mulai berubah menjadi hangat, senyum kepuasan di dalam
kelas setelah belajar mulai tampak di wajah anak-anakku, koondisi ini akan
terus saya jaga dan pertahankan, biar kurasakan senyuman manis mereka berubah
menjadi senyuman cantik yang sedap dipandang mata, serta nikmatnya meresap ke dalam
hati dan tulangku. Terlintas dipikiranku, “Akh.., sekiranya saya seorang
novelis, saya akan menulis novel, dan disampulnya terutulis: “Ketika senyum manis berubah menjadi senyum
cantik”. Hehehe…, akan tetapi saya lebih suka mengucakan kata syukur, “Alhamdulillah …”